Selanjutnya kejanggalan berikutnya, adalah, bahwa terbitnya IUP lebih dulu daripada Izin lokasi, yakni IUP terbit 28 Juni 2004 dan Izin Lokasi 30 Juni 2004, yang seharusnya, izin lokasi lebih dulu dari IUP. Kemudian hasil kunjungan petugas bagian PTPTN V ke lokasi Sei Lala tanggal 10-13 Juli 2007, didapati bahwa dalam areal telah ditanami dengan berbagai tanaman masyarakat, seperti karet, kelapa sawit yang sudah usia panen, dan dipastikan, transaksi pembayaran kompensasi IUP dilakukan diatas lahan masyarakat yang sudah lama menggarap di sana.
Kejanggalan berikutnya, bahwa terdapat perbedaan luasan lahan dalam Akta Notaris Tengku Indra Bungsu No. C-1860. HT. 03.02.-TH/1999 tanggal 14 Mei 2004 dengan izin lokasi dan IUP. Dalam Akta Notaris itu luasnya 6.758 Ha, sementara dalam Izin Lokasi dan IUP seluas 6.998 Ha.
Disebutkan dalam kesimpulan risalah permasalahan dalam pengembangan kebun inti PTPTN V di Air Molek Group pada 30 Juli 2007, mengingat dinamika dalam proyek tersebut, pihak PTPTN V kala itu telah mengeluarkan biaya setidaknya sebesar Rp 56’8 miliar rupiah.
Keberadaan kebun 6.998 Ha di Sei Lala tetap tidak dapat di kuasai atau di kelola oleh PTPTN V, sehingga dapat diduga tata kelola PTPTN V khususnya pada proyek pengembangan kebun inti di Air Molek Group merupakan konspirasi atau persekongkolan antara oknum-oknum petinggi PTPTN V Dan orang-orang tertentu di masyarakat, yang melibatkan unsur PT KRSP, Kantor Notaris, dan pemerintah terkait dengan kerugian keuangan Negara sebesar 56’8 miliar rupiah.
“Kami dari LPKKI secara resmi telah melayangkan surat klarifikasi tentang informasi ini kepada managemen PTPTN V yang sekarang berubah menjadi PTPTN IV Regional III Riau di jalan Rambutan Kota Pekanbaru. Namun setelah dua pekan surat kami di tetima pihak PTPTN itu, hingga saat ini belum ada tanggapan” Kata Feri Sibarani.
Menutup keterangan pers nya hari ini, Feri Sibarani, mengatakan, pihaknya selaku komponen masyarakat yang pro aktif dalam menyuarakan keadilan dan gerakan pemberantasan segala bentuk tindak pidana korupsi di BUMN, dalam waktu dekat akan menyampaikan laporannya kepada Lembaga penegak hukum, agar sengkarut tata kelola PTPTN V atau sekarang menjadi PTPTN IV Regional III Riau dapat terungkap dan kerugian keuangan negara dapat dipulihkan.
“Sengkarut tata kelola PTPTN ini bukan hanya berdampak buruk ketika itu, tetapi secara struktural manajemen pastinya berdampak hingga sekarang, dimana posisi permasalahannya kami duga kuat masih tetap seperti kala itu, dan tidak ada penyelesaian yang jelas, sehingga kabarnya, bahkan program kerja dan anggaran-anggaran untuk persoalan menyangkut lahan itu masih direalisasikan hingga saat ini. Artinya, ada secara terus menerus kerugian keuangan Negara dari BUMN atau PTPTN yang sekarang menjadi Holding dengan nama PTPTN IV Regional III Riau” Sebut Feri.
Sumber : LPKKI
Penulis : FIT